Jumat, 30 Agustus 2019

Nilai Adat, Raja Dan Dewan Adat

Dalam catatan hariannya yang bertarikh 3 Dzulqaidah 1354 Hijriah , La Wahide DaEng Mamiru Pabbicara Tana Tengngana Belawa menuliskan :

“Tellu ompona uleng Suleka’ida//Rilalengna taung 1354 hijerrana Nabitta // uwalai papparingerrang lao risEsE alebbirengna DatuE ri Belawa // MakkedaE ; Aja’ naita batii’ LimaE passabareng naengkai Datu MakkarungngE // Iyanaritu : Natonangi atempongeng nasaba’ tudangengna // NawElai ade’maraja naggau’ sama’ mariawataba’ // Mappuada wEkkadua tennanrupai ada rimulangna // MarEngkalinga ada tennatongengi pangaderengna // Malimangna, napakariawai To PanritaE // NarEkko siengkangni iyalima pangkaukengngE // Natunaini alebbirengna // NariwElai ri Joana // Namallajang cEro’ riyabusunginna”




( Pict : Abdullah La Menrirana ; ?)


(Pada tanggal 3 bulan Dzulqaidah // dalam tahun 1354 Hijrahnya Nabi kita // kujadikan peringatan terhadap sisi kemuliaan Sang Datu di Belawa // Bahwa ; Janganlah sampai terjadi hingga dilihat oleh keturunan kita tentang lima hal pada Raja yang menjalankan pemerintahan // Yaitu : Ditunggangi kesombongan atau kepongahan disebabkan tahtanya // Menjauh dari adat istiadat Istana lalu berlaku rendah dimuka umum yang tak sepantasnya bagi kemuliaan martabat mahkota yang diembannya // Tidak konsisten terhadap perkataan yang pernah diucapkannya sebelumnya // Mendengar atau menuruti suatu perkataan yang tidak dibenarkan oleh Adat Istiadatnya // Yang kelima adalah merendahkan para ulama // Jikalau kelima prilaku itu berkumpul dalam dirinya (Raja) // Maka ia menghinakan sendiri derajat kemuliaannya // Sehingga ia ditinggalkan para pengikut setianya // Raiblah darah (aura) yang didurhakai atas dirinya).

Bahwa peringatan tersebut diucapkan oleh Pabbicara Belawa dihadapan Datu Belawa sebelum meletakkan jabatannya dengan sehormat-hormatnya. Meskipun kemudian membuatnya harus menjalani hidup dengan serba pas-pasan akibat segala hartanya haruslah disita oleh Sang Datu beserta kroni-kroninya. 


Namun kondisi itu diterimanya, demi azas Pangadereng yang mengalir dalam darah dan nafasnya. “Percuma menjalani sesuatu jika tidak sesuai dengan makna yang sesungguhnya”, katanya tegas sebagaimana dilafaldzkan dengan bahasa Bugis yang penuh iba diri, yaitu : “rEkko maddua lalengni adanna nawa-nawaE, pusa ricapparengna”. Tiada lain yang membuatnya mundur, tatkala didapatinya Sang Datu hanya mendengarkan sepihak dari selir beserta keluarganya kala itu. Ibu selir beserta rumpun keluarganya yang menjalankan pemerintahan, Sang Datu tak lebih daripada boneka semata. Bahkan para pangeran yang tergolong “Ana’ Mattola”, yakni putera puteri mendiang Permaisuri (Arung Makkunrai) bahkan disuruh menggembala domba.

Bahwa sesungguhnya adat (baca ; pangadereng) adalah suatu nilai yang dinamis dan elastic. Meskipun ada beberapa aturan didalamnya yang mutlak harus diberlakukan, sebagaimana diistilahkan : “Ade’ Puraonro” (Adat Permanen). Adat Permanen itu pada umumnya lebih merupakan norma-norma yang pemberlakuannya dapat pula disesuaikan serta berlaku umum (prosedur tetap). 


Beberapa hal yang dinilai Ade’ Puraonro, antara lain : Seseorang yang hendak membeli suatu benda yang tidak diperjual belikan di pasar, SEMESTINYA mendatangi pemilik barang ke rumahnya, bukannya di tengah jalan atau Pos Ronda. Semisalkan seseorang menghendaki sebilah pusaka, maka ia mendatangi pemilik pusaka itu dengan cara bertamu sesopan-sopannya. Si pembeli harus mengindahkan istilah yang menghormat dengan menyatakan hendak “me-mahar-kan” (massompa) Pusaka yang dimaksud. Jika ia mengatakan itu “jual beli”, mestilah itu dinilai kurang sopan. Terlebih pula jika menyangkut suatu urusan yang lebih agung, yakni : Pernikahan. Pihak lelaki yang hendak “mammanu’-manu’” (lamaran tak resmi), seyogyanya menemui orang tua pihak perempuan di rumah kediamannya (bola atudangengna) dengan pakaian yang sepantasnya. Ini adalah suatu norma yang berlaku bagi semuanya.

Menyangkut perihal adat istiadat pemuliaan terhadap Raja, dalam khazanah Pangadereng Ugi (Adat Istiada Bugis), disebut sebagai bagian dari : Ade’ Maraja (Adat Agung). Bagaimana memperlakukan seorang Raja, semua diatur secara ketat dalam norma-norma itu. Bahwa menurut situasi/kondisi kekinian, seyogyanya disesuaikan menurut keadaannya. Misalnya, ; Seorang Raja yang melakukan perjalanan diluar Istananya, meskipun beliau selalu didudukkan diatas “tappErE Boddong” (tikar persegi), namun kadang-kadang haruslah duduk diatas kursi. Kemudian semua abdinya tidak boleh duduk sejajar dengan Raja, maka “arah” kursi yang diduduki oleh para abdinya dalam majelis itu yang berbeda arah dengan Sang Raja. Maka sesungguhnya adat istiadat itu senantiasa dinamis dan tidak kaku.


Pada akhirnya, suatu pertanyaan yang kerap dikemukakan pada masa kini : “Bagaimanakah hubungan Adat, Dewan Adat dan Raja ?”. Bahwa karena memenuhi aturan ADAT sehingga seorang person disebut sebagai RAJA (DATU). Pemuliaan terhadap Raja bukanlah diatur oleh Fiqi ataupun Syariat Islam, serta bukan pula oleh UUD 1945. Melainkan oleh pranata ADAT bersendikan Syariat Islam (Sara’) yang dijaga dan dijalankan oleh para Dewan Adatnya. Olehnya itu, jika seorang Raja meremehkan Adat dan Dewan Adatnya, sama saja jika MAHKOTA menolak KEPALA yang menjunjungnya. Seorang person disebut RAJA (DATU) disebabkan keluhuran ADAT (pangadereng) yang diembannya, dimana dirinya adalah SIMBOL. Maka seorang RAJA yang selalu berjalan sendiri dengan mengabaikan ADAT dan DEWAN ADATNYA, sama halnya dengan MAHKOTA yang menjauhi KEPALA-nya.



“Polo paa’, polo panni’, riElo ullEna DatuE, rilulu’ manengmua, …” (meskipun patah paha, patah sayap, jika kehendak dan kemauannya Datu, diteroboslah jua, …). Namun ikrar abdi itu masih ada “,” (koma) yang mengantarai lanjutannya, yakni : “…, rEkko natunruengngE Ade’” (jikalau itu dilandasi kebenaran Adat). Kemudian, “Angingko sio Lapuang, Nakiraungkaju, Riao miri, riakkeng teppa, muteppalireng, …” (Engkaulah angin Tuanku, Kami tak lain dedaunan belaka, dimana engkau berhembus, disitulah patik terhampar, terhembus olehmu, …). Namun itupun adalah baru “koma” belaka, lanjutannya adalah lagi-lagi ; rEkko natunruengngE Ade’” (jikalau itu dilandasi kebenaran Adat). Selanjutnya, “Bulu’-bulu’ mutettongi, bulu’-bulu kilEwo, Lompo’-lompo mutudangi, lompo’-lompo’ kilEwo, ….. rinatunruengngE Ade’” (Engkau berdiri di gunung, gunung pula yang kami kerumuni, engkau duduk di dataran tinggi, dataran tinggi itu pula yang kami kerumuni, …sekiranya itu dibenarkan oleh adat). Hingga kemudian, “Angollino kisawe’, Assuroko kipEgau’i, …rinatunruengngE Ade’” (memanggillah maka kami menjawab, menyuruhlah maka kami laksanakan, ..jikalau itu berkesesuaian dengan Adat).

Maka sesungguhnya, Adat beserta Dewan Adat pada suatu negeri adalah Legitimasi seorang person yang disebut sebagai Raja. Adat yang dijaga dan dilaksanakan oleh Dewan Adat menggariskan penghormatan dan pemuliaan atas diri seorang Raja. Namun jika Raja tidak mengindahkan atau bahkan mengabaikan Dewan Adatnya, maka sama saja jika menginjak martabatnya sendiri. Demikian pula dengan Dewan Adat, kewajibannya untuk mengingatkan seorang Raja yang sudah terlalu jauh dari jangkauan benteng Adatnya. Seorang Dewan Adat wajib pula menghormati dan menjunjung Raja-nya, namun itu berlaku selama Raja menghargai Adatnya sendiri. Sekiranya nilai Adat sudah bukan lagi suatu hal yang penting, ..maka nilai seorang Raja dan Dewan Adat tak lebih dari bulir padi tak berisi, ..atau hampa belaka. Ibarat "pajo-pajo" (orang-orangan sawah) yang meskipun mengenakan busana adat, namun tak siapapun yang sepakat jika itu boleh disebut sebagai "orang beneran". Maka segalanya lebih baik dikembalikan kepada Allah, Sang Pemilik Kemuliaan itu sendiri.

Wallahualam Bissawab.

Sumber :

Doposkan lewat Facebook oleh Abdullah La Menrirana yang ditulis oleh To Sessungriu

Lingkup Pangadereng

“Memanusiakan Manusia dan Menghargai Sesama”, sesungguhnya itulah tujuan dari penerapan “Pangadereng” (Adat Istiadat) ditengah masyarakatnya, sesuai nilai dan normanya masing-masing. 

Maka Pangadereng adalah aturan tentang sikap diri kepada sesama manusia dan alamnya, atau dengan kata lain : Aturan Berkehidupan. Terlepas dari derajat Iman dan Taqwa seseorang, dimana hal tersebut diatur dalam suatu rana tersendiri yang dikenal sebagai “Sara’” (Syariat Islam). Olehnya itu, suatu indifidu dinilai To Makkiade’ (orang beradat) atau To dE’ Ade’na (orang tidak ada adatnya), terletak dari penilaian indifidu lainnya. Kemudian seseorang yang beriman atau tidak, sepenuhnya dinilai oleh Allah SWT.

( Pict : Abdullah La Menrirana : ?)



Seseorang dinilai sebagai To Makkiade’ bahkan terlepas dari predikatnya sebagai orang baik ataupun orang jahat. Seringkali seorang jahat yang jelas-jelas sebagai “Punggawa PEllolang” (Kepala Perampok/Pencuri) bisa saja dinilai sebagai To Makkiade’ ataupun setidaknya sebagai To Misseng Ade’ (orang yang tahu adat). 


Bahwa meskipun pekerjaannya di dunia hitam, namun ia adalah sosok yang memiliki “pessE” (solidaritas) dan menghargai tatanan dalam lingkungannya. Ia adalah suatu pribadi yang menghormati aturan dalam lingkungan masyarakatnya, sehingga iapun melarang keras anak buahnya untuk berbuat kerusakan ataupun mencuri dalam kampungnya sendiri. 

“Sijaa’ jaa’na tau, naEkia dE’ nakkasolang rilaleng palla’na” (seburuk-buruknya orang, namun ia takkan melakukan pengrusakan dalam pagarnya), demikian diungkapkan bagi orang seperti ini. Ia adalah suatu pribadi yang dikenal sopan, rendah hati dan dermawan. Maka penjahat inipun dinilai sebagai orang beradat, meski tak seorangpun yang membenarkan pekerjaan pokoknya sebagai penyamun.

Sebagai aturan memanusiakan manusia, Pangadereng meletakkan norma-norma yang sekecil-kecilnya hingga mencakup aktifitas rutin bagi setiap orang. Salahsatu diantaranya, adalah aturan makan minum. Pangadereng meletakkan aturan makan minum itu sebagai suatu hal yang berkaitan langsung dengan keyakinan. 


Antara lain ditanamkan kepercayaan, bahwa setiap manusia ketika sedang makan (bersantap), diyakini bahwa ada Malaikat Tuhan yang memayunginya. Siapapun ia, Raja maupun Budak, ketika sedang makan, maka ada mahluk yang tak kelihatan oleh mata kasar sedang memayunginya. Ia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang sedang menerima curahan berkah dari Tuhan-nya, dengan menyantap rezeki karunia Tuhannya tersebut. 

Olehnya itu, setiap orang tatkala makan dipersyaratkan oleh Pangadereng untuk duduk dengan posisi sebaik-baiknya. Jika ia lelaki, ia harus “massulEkkalebba” (bersila) dengan sehidmad-hidmadnya. Jikalau ia perempuan, ia harus “maddapicu” (duduk dengan posisi kaki ditekuk menyamping) dengan sesopan-sopannya. Kemudian iapun tidak boleh berbicara sambil makan, utamanya jika ada makanan dalam mulutnya. Selain itu, ia pun mengunyah makanan itu dengan mulut tertutup, sebagai tanda penghargaannya atas rezeki berupa makanan itu. Selanjutnya, iapun tak boleh berpindah tempat ketika sedang makan, demi penghargaan atas malaikat yang sedang memayunginya. 

Olehnya itulah, dipantangkan bagi siapapun untuk menyuruh (memerintah) seseorang yang sedang makan, termasuk bagi Raja. Bahkan seorang Raja sekalipun, dituntut untuk memanusiakan abdinya yang sedang melahap rezeki dari Tuhannya, serta menghargai Malaikat Utusan Tuhan yang sedang memayungi setiap orang yang sedang makan.

Adalah merupakan “PEmmali” ( pantangan) pula bagi setiap orang yang tidak memakan/meminum hidangan yang telah dihidangkan. Prilaku seperti ini dikenal sebagai “MajjulEkkai NanrE Manasu” (melangkahi nasi yang telah dimasak). Hal ini dianggap sebagai “pelecehan” terhadap Malaikat Tuhan yang telah memayungi hidangan itu. 


Olehnya itu, diancamlah kepada pelakunya dengan berbagai kesialan ataupun kecelakaan ditengah perjalanan. Hal yang kemudian diberitakan dalam Lontara Latoa, menyangkut kecelakaan yang menimpa Puetta MatinroE ri Itterrung. Yakni seorang Raja Bone (ArumponE) bernama La Ulio Botte’E yang sedang murka dalam suatu acara perjamuan. 

Sribaginda menampakkan kemarahaannya dengan meninggalkan acara perayaan itu dengan tanpa menyentuh sedikitpun makanan/minuman yang dihidangkan baginya. Hingga kemudian, ditengah perjalanannya menuju Cenrana, beliau tewas ditikam oleh sepupunya sendiri.

Maka Adat Istiadat sesungguhnya tidak hanya sekedar ritual atau upacara, melainkan meliputi tata krama dalam bersikap, bertutur kata dan lain sebagainya. Terlepas dari kelurusan niat dalam hati, namun sesungguhnya yang dapat dinilai atasnya adalah yang nampak oleh mata dan didengar oleh telinga.

Wallahualam Bissawab.

Sumber :

Doposkan lewat Facebook oleh Abdullah La Menrirana yang ditulis oleh To Sessungriu

Songkok recca dan Penggunanya

Badik khas Makassar dengan Songkok Recca'. Songkok recca' sebutan bagi orang Bugis atau Songkok Guru dalam bahasa makassar, songkok khas Bugis Makassar yang terbuat dari Lontar dengan cara dipukul-pukul menjadi serat kecil untuk kemudian di anyam ini memiliki filosofi khusus bagi pemakainya. Jauh saat ini, songkok recca hanya dikenakan oleh orang-orang tertentu dengan ciri khas masing-masing tingkatan strata sosial penggunanya.


(Pict : Eka Nursalam ; ?)

Pertama, Pammiringnya dari emas murni, biasa dipakai oleh Bangsawan Maddara Takka atau anak matoa (anak matase). Kedua, Pammiringnya memakai emas 3/5 dari tinggi songkok biasa dipakai oleh Bangsawan atau Arung mengre (Arung Sipuwe). Ketiga, Pammiringnya memakai emas setengah dari tinggi songkok biasa dipakai oleh Rajeng matase atau rajeng malebbi. Keempat, Pammiringnya dengan emas 1/4 bagian dari tinggi songkok biasa dipakai oleh arung maddapi atau anak cera. Kelima, emasnya hanya pada pinggiran songkok dipakai oleh tau madeceng, tau mardeka, atau tau sama'

Topada Salamaki.


Datuk ri Tiro

Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani/Abdul Jawad dengan gelar Khatib Bungsu adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan serta Kerajaan Bima di Nusa Tenggara sejak kedatangannya pada penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya. Dia bersama dua orang saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib Sulung serta Datuk ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah timur nusantara pada masa itu.




(Pict : Google ; ?)



Dakwah Islam

Datuk ri Tiro bersama dua saudaranya, Datuk ri Bandang dan Datuk Patimang menyebarkan agama Islam di wilayah Sulawesi Selatan dengan menyesuaikan keahlian yang mereka miliki masing-masing dengan situasi dan kondisi masyarakat yang akan mereka hadapi. Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu Tiro, Bulukumba, Bantaeng dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir dan mantera-mantera. Sedangkan Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid telah lebih dulu menyiarkan Islam di wilayah utara yaitu Kerajaan Luwu (Suppa, Soppeng, Luwu) yang masyarakatnya masih menyembah dewa-dewa. Sementara itu Datuk ri Bandang yang ahli fikih berdakwah di wilayah tengah yaitu Kerajaan Gowa dan Tallo (Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng) yang masyarakatnya senang dengan perjudian, mabuk minuman keras serta menyabung ayam. Belakangan Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang juga menyiarkan Islam ke Kerajaan Bima, Nusa Tenggara.

Wafat

Setelah beberapa lama melaksanakan dakwah Islam, akhirnya Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro berhasil mengajak raja Karaeng Tiro (Sulawesi Selatan) serta raja Bima (Nusa Tenggara) masuk Islam. Sang pendakwah itu tidak kembali lagi ke Minangkabau sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.

Sumber :

PT Balai Pustaka, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia, Volume 3 
www.wisatanews.com Tradisi Hanta Ua Pua, Bentuk Penghormatan Atas Rasulullah dan Ulama 
Yayasan Obor Indonesia, Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII