Selasa, 17 Oktober 2017

Tari Akarena Tedong dari Bulukumba, Sulawesi-selatan

Tersimpulnya ikatan dua anak manusia dalam sebuah upacara Pernikahan seluruh kebudayaan di dunia terdapat suatu proses yang berbeda. Salah satunya ada di Kabupaten Bulukumba tepatnya di Ara kecamatan Bontobahari.

Bulukumba yang memiliki potensi wisata juga menyimpan potensi  budaya yang saat ini keberlangsungannya terancam. salah satu diantaranya adalah Akarena Tedong, Karena dalam bahasa lokal yang berarti Tari yang saat ditambahkan imbuhan "Pa" menjadi Pakarena  artinya sang pelaku tari itu sendiri, dan Tedong yang berarti kerbau

Akarena Tedong erupakan satu diantara tiga  rangkaian acara dalam suatu pernikahan  masyarakat Ara, pertama Akarena Tedong, kedua Akarena Siusiri, dan ketiga Akarena Salonreng.

Penggunaan istilah  Akarena Tedong (Lathief, halilintar. Nurdin Taba. 1994) kerena dalam prosesi ini erat kaitannya dengan upacara pemotongan Tedong (Kerbau). Selain itu, menurut Budayawan Muhannis juga karena pada salah satu gerak yakni bentuk jemari tangan yang menyerupai hewan laut yakni kerang yang dalam bahasa lokal disebut dengan Tedong-tedong yang dalam bahasa latin adalah Casis Cornuta yang dulunya banyak dijumpai di laut sekitar Kampung Ara.

Kali ini, Lengka hanya mencoba menguraikan Akarena Tedong. Tari Akarena Tedong merupakan tari pembuka dalam susunan acara adat pernikahan masyarakat Ara, yang dimulai sore hari hingga malam hari  usia pemotongan kerbau yang dilaksanakan saat pagi hari di rumah mempelai perempuan.

Acara Akarena Tedong berakhir sebelum waktu magrib yang kemudian dilanjutkan di rumah mempelai laki-laki dimana pendukung tari Akarena Tedong sama dengan tari di rumah mempelai perempuan yang mana para penarinya adalah Tu Lolo dalam bahasa lokal artinya gadis sebanyak enam orang dalam jumlah berpasangan.

Selesai Akarena Tedong biasanya kemudian dilanjutkan dengan upacara pemasangan Tabere Manuntung.

Tahun 2016, Lengka bersama beberapa penari dari Perguruan tinggi di Bulukumba dan Makassar mencoba menemui Anrong Akarena di Ara, Kecamatan Bontobahari. laki-laki rentah yang bernama Idrus Sarika yang biasa disapa Puang Sarika , dalam pembicaraan kala itu kekhawatiran beliau akan Akarena yang merupakan kekayaan masyarakat Ara kini kurang diminati oleh generasi muda. ini merupakan sebuah bencana menurut Lengka untuk generasi mendatang yang budayanya tenggelam satu persatu layaknya perahu ditengah samudera saat malam tanpa bintang.

Sumber :
Literatur
Lathief Halilintar, Nurdin Taba. 1994. Seni tari tradisional di Sulawesi-selatan. Jakarta.

Wawancara
Drs. Muhannis. 2016 dan, 
Idrus Sarika. 2016

Catatan :
Dalam upaya melawan lupa, Komunitas simpul merah dan Museum dan Rumah Baca Kucang Pustaka memiliki sumber informasi berupa beberapa catatan dan ketikan manual tentang Tari Pakarena yang ada di Ara tahun 60-an yang dihibahkan oleh Drs. Muhannis.



0 komentar:

Posting Komentar