Tersimpulnya ikatan dua anak manusia dalam sebuah
upacara Pernikahan seluruh kebudayaan di dunia terdapat suatu proses yang
berbeda. Salah satunya ada di Kabupaten Bulukumba
tepatnya di Ara kecamatan Bontobahari.
Bulukumba yang memiliki potensi wisata juga
menyimpan potensi budaya yang saat ini
keberlangsungannya terancam. salah satu diantaranya adalah Akarena Tedong, Karena dalam
bahasa lokal yang berarti Tari yang saat ditambahkan imbuhan "Pa"
menjadi Pakarena artinya
sang pelaku tari itu sendiri, dan Tedong yang berarti kerbau
Akarena Tedong erupakan satu diantara tiga
rangkaian acara dalam suatu pernikahan
masyarakat Ara, pertama Akarena Tedong, kedua Akarena Siusiri,
dan ketiga Akarena Salonreng.
Penggunaan istilah Akarena Tedong (Lathief, halilintar.
Nurdin Taba. 1994) kerena dalam prosesi ini erat kaitannya dengan upacara
pemotongan Tedong (Kerbau). Selain itu, menurut Budayawan Muhannis juga
karena pada salah satu gerak yakni bentuk jemari tangan yang menyerupai hewan
laut yakni kerang yang dalam bahasa lokal disebut dengan Tedong-tedong yang
dalam bahasa latin adalah Casis Cornuta yang dulunya banyak dijumpai di
laut sekitar Kampung Ara.
Kali ini, Lengka hanya mencoba menguraikan Akarena
Tedong. Tari Akarena Tedong merupakan tari pembuka dalam susunan acara adat pernikahan
masyarakat Ara, yang dimulai sore hari hingga malam hari usia pemotongan kerbau yang dilaksanakan saat pagi hari di
rumah mempelai perempuan.
Acara Akarena Tedong berakhir sebelum
waktu magrib yang kemudian dilanjutkan di rumah mempelai
laki-laki dimana pendukung tari Akarena Tedong sama dengan tari di rumah mempelai
perempuan yang mana para penarinya adalah Tu Lolo dalam bahasa lokal
artinya gadis sebanyak enam orang dalam jumlah berpasangan.
Selesai Akarena Tedong biasanya kemudian
dilanjutkan dengan upacara pemasangan Tabere Manuntung.
Tahun 2016, Lengka bersama beberapa penari dari
Perguruan tinggi di Bulukumba dan Makassar mencoba menemui Anrong Akarena di
Ara, Kecamatan Bontobahari. laki-laki rentah yang bernama Idrus Sarika yang
biasa disapa Puang Sarika , dalam pembicaraan kala itu kekhawatiran beliau akan
Akarena yang merupakan kekayaan masyarakat Ara kini kurang diminati oleh
generasi muda. ini merupakan sebuah bencana menurut Lengka untuk generasi
mendatang yang budayanya tenggelam satu persatu layaknya perahu ditengah
samudera saat malam tanpa bintang.
Sumber :
Literatur
Lathief Halilintar, Nurdin Taba. 1994. Seni
tari tradisional di Sulawesi-selatan. Jakarta.
Wawancara
Drs. Muhannis. 2016 dan,
Idrus Sarika. 2016
Catatan :
Dalam upaya melawan lupa, Komunitas simpul merah
dan Museum dan Rumah Baca Kucang Pustaka memiliki sumber informasi berupa
beberapa catatan dan ketikan manual tentang Tari Pakarena yang ada di Ara tahun
60-an yang dihibahkan oleh Drs. Muhannis.
0 komentar:
Posting Komentar