Jumat, 10 Juni 2016

Semalam di Pantai Lemo-lemo, Kabupaten Bulukumba

Gelap, hanya itu suasana yang tergambar malam itu. sesekali riuk ombak dan gerayam angin laut yang sesekali mengigilkan badan. Semalam di Lemo-lemo, Kampung tua nan gelap dan hamparan makam tak bernama.

Menghitung bintang, (dari kiri)
Penulis, Achmad Idham Algazali, Muhammad Akbar KK, Tukang Potret Achmad Khaerul
Dimulai kiriman via E-mail peta tua dan beberapa lembaran buku fotocopy dari seorang budayawan tentang tentang kerajaan dan kampung yang ada di wilayah Kabupaten Bulukumba menggerakkan kaki kami ke tempat ini (Pantai Lemo-lemo).

Dengan jelas, dalam peta yang tertera tahun 1752 tergambar sebuh benteng dan nama Lemolemo. mungkin saja, kebanyakan orang akan menganggap Kampung pinggir pantai itu hanyalah sebuah pemukiman yang biasa saja layaknya perkampungan lainnya. Namun bagi kami yang sedari dulu senang akan cerita kakek akan perjalanannya dulu dan buku-buku tua adalah sebuah tempat yang penuh dengan keunikan yang sangat menarik.

Kunjungan pertama kami dari Komunitas Simpul Merah hanya sebuah persinggahan untuk di telusuri lebih lanjut. karena sebelumnya, tempat yang acap kali kami kunjungi adalah Kampung yang Tua juga yakni Desa Ara.

Meriam dan Ranjau laut di pekarangan rumah warga,
nampak salah seorang komunitas Simpul Merah yakni Jusli Ruhaely, Minggu 22 Juni 2016.
Lain halnya dengan Desa Ara, desa yang cukup padat penduduk di sela-sela karang dan arus modernitas sudah menyentuh disetap sudut kampung ini berbanding terbalik dengan Kampung tua yang ada di Lemo-lemo.

Kampung yang jumlah penduduknya tidak lebih dari 80 orang dan sekitar 20 rumah ini pada malam hari gelap gulita dan sunyi dari hiruk pikuk suara radio, televisi, bahkan saat hari libur wisatawan lokal sangat sunyi dari laju kendaraan roda empat bahkan roda dua.

Di sekeliling kampung hanya ada rerimbung hutan yang padat akan batang pohong dan ranting-rantingnya, di bagian lantai hutan hanya ada sekian inci tanah dan setelahnya karang tajam bahkan banyak tidak terdapat tanah hanya karang tajam dan sesekali kita akan menemukan gua-gua yang beraneka raga variannya, ada Gua Horisontal bahkan Vertikal dan tidak terhitung jumlahnya di rerimbung pohon.

Malam pertama yang sangat jauh dari kesan modern, hanya ada riuk ombak dan geranyam angin laut. Sesekali kami tertawa karena bercerita akan masa depan yang begitu suram dan gadis-gadis ibu kota provinsi dan kabupaten yang sudah bertingkah di ambang batas kewajaran.

Beralaskan tikar sebelum hujan turun
Tidak kala akan riuk ombak, kelelawar pun sedemikian riuhnya berceloteh tengah malam. Mungkin saja, di atas sana di anatara ranting-ranting mereka sedang menertawakan kami yang saat itu hanya beralasakan selembar tikar dan langit menjadi atap atau barangkali mereka sedang menggoda betina lainnya dengan rayuan ala kelelawar malam.

Tetiba saja, langit dengan sejuta bintang menggantung di tubuhnya gelap seperti sudut hutan yang begitu gelap, gelap yang pekat, dalam hitungan detik mula-mula setetes terjung dari langit hingga tak terhitung berapa yang menerpa muka kami malam itu.

Tanpa menunggu basah karena air yang jatuh dari langit, terdapat sebuah rumah panggung yang mungkin saja sebuah Villa menjadi tempat bertedu kami. Saat menggelar tikar di kolong rumah panggung itu, kami tertawa lebar melihat kondisi miris kami. Saat duduk di kolong rumah panggung, jarak antara kepala kami dengan lantai papan tinggal sejengkal, jika tetiba berdiri tanpa perhitungan ataupun jongkok pelang maka relakan saja kepalahmu menjadi sasaran.

Beralaskan tikar, beratapkan lantai kayu di salah satu Villa Panktai Lemo-lemo.
Hujan begitu lebat, angin pun demikian, kelelawar hilang entah kemana. Mungkin saja mereka berhasil menggoda betinanya dan ternbang mencari ranting lain ataupun terjung di tengah rerimbung hutan mencari hewan dan serangga santapan mereka.

Tidak terasa, jam digital berbunyi manandakan pukul lima, suara azan yang acap kali bergema dari kiri kanan depan dan belakang tidak pula terdengar. kami mencoba merebahkan diri sejenak untuk berjalan menelusuri rerimbung hutan dan karang tajam.

Tak terasa, cahaya mentari telah menyinari hamparan pasir putih, puluhan orang berlari dan beberapa di antaranya mencoba mengejar ombak dan sangat mengesangkan, ternyata suasana hutan yang cukup menyeramkan akan suara serangga dan kelelawar ini menyimpang sebuah rahasia.

Rahasia itu tidak lain adalah hamparan pasir putih yang sangat panjang, jika anda pernah berkungjung di Tanjung Bira, maka panjang pantai di tempat ini dua kali panjangnya daripada di Tanjung bira.

Pantai Lemo-lemo yang menghadap langsung ke Gunung Bawakaraeng (Foto : Zulengka Tangallilia)

Pantai Lemo-lemo (Foto : Zulengka Tangallilia)

Pantai Lemo-lemo (Foto : Zulengka Tangallilia)

Seorang wisatawan berlari, Pantai Lemo-lemo (Foto : Zulengka Tangallilia)
Berjalan dari ujung satu ke ujung lainya cukup lama dan kita akan di hadiahi beberapa situs yang memang merupakan tujuan kami untuk berkungjung, di antaranya Situs Benteng Lemo-lemo, ratusan makam dengan nisan batu hitam tinggi tersebar sepanjang garis pantai dan satu persatu penginapan yang tidak tertata baik.

Salah satu Nisan di anatara makam tua yang tak terurus.
Selepas berkeliling di garis pantai Lemo-lemo, kami melanjutkan mendata dan memotret puluhan makam tua dengan berbagai nisan yang jarang kita jumpai. banyak di anatara makam-makam tua ini telah rusak dan ditumbuhi rumput ilalang dan pohong besar, di antara makam tua juga terdapat beberapa makam yang tergolong baru yang merupakan tempat pemakaman warga kampung tua lemo-lemo.

Sebuah pembatas di tengah hutan, jika buka pembatas kebun maka adalah sebuah benteng
Batas ini sangat panjang membela hutan berdiameter 1 meter dari batu karang.
Perjalanan kami lanjutkan dengan memasuki hutan, tidak jauh masuk kami menemukan beberapa Gua vertikal dan Horisontal, ada yang cukup dalam dan beberapa di antaranya adalah hanya berupa liang. Namun saat itu tidak kami lanjutkan lebih dalam karena peralatan yang tidak memadai dan rerimbung pohon yang sangat sulit kami tembus.

Bulukumba, 11 Juni 2016
Penulis : Zulengka Tangallilia

0 komentar:

Posting Komentar